Jumat, 18 Desember 2009

Kasus Nurdin Halid

Vonis dua tahun penjara oleh MA kepada anggota DPR baru Nurdin Halid menciptakan prahara politik di Partai Beringin. Dipimpin langsung oleh Ketua MA Bagir Manan, tanggal 13 September lalu majelis hakim memutus perkara kasasi mantan Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia (KDI), Nurdin Halid dan Mantan Direktur Utama Bank Mandiri, ECW Neloe. Usai sidang yang berlangsung di lantai dua Gedung MA para hakim berlalu senyap masuk ke ruangan Bagir Manan.

Sekitar pukul 12.00 WIB, satu per satu hakim anggota perkara yaitu Ketua Muda Pidana Khusus Iskandar Kamil, Ketua Muda Perdata Harifin A Tumpa, Djoko Sarwoko dan Rehngena Purba meninggalkan ruangan Bagir. Tak ada yang tahu persis apa yang telah diputuskan karena hakim bersikap bungkam.
Baru kemudian diketahui bahwa putusan itu memang benar-benar kembali menghukum dan mengirim kembali Nurdin Halid dan Neloe ke bui.
Nurdin melalui petikan putusan Nomor 1384K/Pid/2005 yang diterima Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Andi Samsam Nganro, diputus MA penjara 2 tahun dan denda 30 juta karena secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam dana distribusi pengadaan minyak goreng bulog sebesar 169,7 miliar melalui Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) yang diketuai Nurdin Halid.
Pada 16 Juni 2004 Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia 2004-2009 dan Ketum PSSI periode 2003-2009 ini ditahan sebagai tersangka kasus penyelundupan gula impor ilegal 73 ribu ton. Nurdin juga sempat ditahan karena distribusi ilegal minyak goreng KDI. Namun pada 16 Juni 2005 Nurdin dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan tersebut di PN Jakarta Selatan. Jaksa Penuntut tidak terima dan mengajukan kasasi ke MA sampai kemudian vonisnya diketahui publik 14 September lalu. Kejaksaan Agung memaklumi vonis MA itu berjanji akan segera memanggil dan melakukan eksekusi secepatnya kepada Nurdin Halid. Meskipun pada kenyataannya Nurdin Halid tidak langsung dicokok oleh kejagung.
Nurdin Halid sehari sebelum putusan MA, tepatnya 12 September 2007 lalu, baru saja bersuka cita karena dilantik oleh presiden melalui keppres 12 September 2007 selaku anggota DPR PAW menggantikan Andi Mattalatta. Nama Nurdin Halid lolos oleh KPU karena didukung oleh Partai Golkar langsung di bawah pimpinan Jusuf Kalla. Pihak KPU Ramlan Surbakti, mengaku tidak tahu menahu hasil vonis MA. Dia menyesal mengapa selama dua minggu verifikasi, tak ada kabar hukum mengenai kasasi MA tersebut.
Banyak pihak terkejut atas putusan MA ini. Bahkan Nurdin Halid sendiri mengaku mengetahui putusan tersebut sehari setelah putusan itu. Vonis MA walhasil menimbulkan prahara politik. Presiden SBY pun kontan menjadi sasaran gugatan dari politisi Golkar Yuddi Chrisnandi karena telah ceroboh menandatangani Keppres, padahal MA telah mengeluarkan putusan vonis itu tertanggal awal 13 Agusutus 2007. “Kok bisa terpidana jadi wakil rakyat kata Yuddi.

Serangan kecerobohan SBY itu ditangkis jubir kepresidenan Andi Malarangeng dengan alasan presiden menandatangani itu karena mengikuti saja permohonan Ketua DPR yang dianggap telah mengikuti prosedur. Serangan berbalik ke arah Ketua DPR Agung Laksono. Agung Laksono sendiri lantas banyak menghindar dan mempertanyakan pilihan yang dibuat oleh internal Golkar dan KPU.
Kekacauan informasi itu kemudian ditengahi oleh MA dengan mengakui bahwa telah terjadi salah ketik dalam pencantuman tanggal keluarnya vonis tesebut. Kepala Humas dan Biro Hukum MA, Agung Nurhadi mengakui kekhilafan itu dan memberi keterangan bahwa putusan itu yang benar keluar pada 13 September 2007 dan bukan 13 Agustus 2007 sebagaimana tercantum dalam petikan kasasi MA.
Sebagai catatan, kesalahan ketik di MA tersebut bukanlah preseden pertama. MA melakukan salah ketik yang sama pada kasus perkara uji materiil Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang akrab dikenal dengan kebijakan Release and Discharge oleh LSM. Terdapat kejanggalan dalam salinan putusan bernomor register 06 G/HUM/2003 itu. Lalu MA juga melakukan kesalahan yang sama pada sengketa tanah Meruya Selatan.

Menurut Guru Besar Hukum Acara Perdata FH Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Sudikno Mertokusumo kesalahan ketik dalam putusan memang lazim terjadi. Dalam istilah doktrin hukum acara, dikenal apa yang disebut Clerical Error. Kesalahan dalam penulisan menunjukkan kekurangtelitian hakim. Sebab saat putusan telah ditulis dan siap diteruskan ke pemohon, hakim mesti menandatangani master arsip. Kekhilafan dalam penulisan putusan itu selama ini tidak bisa dipermasalahkan. Apalagi sampai berakibat putusan tak mengikat secara hukum. Namun ketika dari putusan tersebut muncul klaim yang menyatakan adanya kesalahan, MA wajib bersikap proaktif membenahi kekeliruan. Pembenahan atau koreksi putusan ini dikenal dalam hukum dengan sebutan "renvoi." Bagian yang salah dicoret lalu dibenarkan dan setiap koreksi diparaf oleh majelis hakim. Salah ketik tersebut kini membuat salah paham politik antara presiden dan DPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar