Jumat, 18 Desember 2009

Urbanisme di Asia Tenggara -- Makna dan kekuasaaan dalam ruang-ruang sosial (TUGAS ISD)

Riset mengenai proses urbanisasi di negara berkembang sangat dipengaruhi oleh teori-teori urbanisasi Eropa dan Amerika yang berpendapat kota kecil (town) atau kota besar (city) adalah pusat kemajuan dan pembangunan, pusat perubahan sosial (hal 12). Kritik terhadap teori urbanisasi diatas dikemukakan oleh Castells yang mengatakan kota tidak otomatis sebagai pusat modernisasi dan belum tentu pula menghimpun semua struktur modernitas.

Ada 5 macam teori klasik dan neo-klasik tentang urbanisasi:

1. Teori-teori demografis tentang urbanisasi dan migrasi. Teori-teori ini didominasi oleh model faktor pendorong-penarik, yang memandang kota sebagai faktor penarik sedangkan desa sebagai faktor pendorong. Teori-teori ini cenderung berifat deskriptif-analitis, yang terbatas pada framework demografis.

2. Teori-teori mengenai sistem kota. Teori ini mencakup antara lain kajian-kajian tentang hirarki kota dan tempat-tempat sentral.

3. Teori-teori kultural kota. Teori ini lebih memfokus diri pada aspek-aspek seperti “petani di perkotaan” atau budaya miskin, atau aspek-aspek yang berhubungan dengan kesadaran sosial dan perubahan citra ruang di kota.

4. Teori-teori tentang diferensiasi ruang dan sosial serta segregasi (pemencilan) di perkotaan, yakni ekologi sosial dalam pengertian luas. Analisis wilayah sosial diperkenalkan oleh Shevky dan Bell, dan ekologi faktorial yang dikembangkan Brian Berry. Model analisis tersebut telah banyak diterapkan dengan menggunakan teknologi komputer terbaru. Dengan metoda ekologi faktorial dapat dilakukan analisis data yang meragukan secara efektif dengan tingkat kesalahan yang relatif kecil. Masalah utama dengan pendekatan ini ialah sulit untuk menafsirkan hasil-hasilnya atau memasukkannya ke dalam konteks teoritis. Sampai sejauh ini pendekatan ini belum terbukti dapat menjelaskan fenomena khas underdevelopment (keterbelakangan) kota atau membedakannya dari struktur ruang kota-kota yang sudah maju dengan menggunakan metode ekologi faktorial.

5. Teori-teori neo-dualis: dengan menggunakan karya-karya penulis ekonomi politik perkotaan mazhab Perancis (Castell, Lojkine, rangkumannya dalam versi bahasa Inggris ditulis oleh Pickvance, 1976) dan tulisan para teoritis dualis lain, Milton Santos berupaya mengembangkan teori kota Dunia Ketiga, yakni teori urbanisasi dependen. Penulis lain, Terry McGee, menaruh perhatian terutama pada ekonomi bazar atau apa yang lebih dikenal sebagai “sektor informal” dan ia telah berhasil menunjukkan hasil penelitiannya yang berskala besar tentang pengasong yang merupakan unsur utama dari sektor informal (McGee dan Yeung, 1978).

Secara keseluruhan, kawasan Asia Tenggara lambat proses urbanisasinya, dan tingkatnya pun lebih rendah dibandingkan kawasan lainnya. Di kebanyakan negara Asia Tenggara, angkatan kerja sebagian besar masih bergerak di sektor pertanian yang tinggal di desa-desa dan menganggap tinggal di kota sebagai hal yang istimewa (hal 42). Tetapi di pihak lain, beberapa negara seperti Indonesia (Jakarta), Filipina (Manila) dan Thailand (Bangkok) memiliki kota besar dengan penduduk jutaan orang.

Urbanisasi yang cepat dan terpusat hanya di satu kota utama mengakibatkan timbulnya sejumlah masalah seperti kemacetan, polusi dan daerah kumuh. Dominasi berlebihan kota utama menghambat pertumbuhan kota-kota yang lebih kecil, bahkan dalam hal pertumbuhan dan perkembangan, kota utama berekspansi lebih cepat dibandingkan kota kecil.

Rendahnya tingkat urbanisasi keseluruhan, ditambah dengan terkonsentrasinya penduduk di satu kota utama yang memiliki karakter heterogen, metropolitan dan internasional bukan karakter nasional, serta adanya fakta bahwa kota-kota utama (primate cities) ini masih muda (usia dibawah 200 tahun) memperkuat kesan bahwa urbanisme memang asing bagi budaya dan masyarakat Asia Tenggara.

Urbanisme menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat Asia Tenggra akibat dari Kolonialisme dan Westernisasi. Adanya fakta bahwa kota-kota sudah ada di Asia Tenggara sejak dua ribu tahun lampau dan bahkan beberapa diantaranya sudah ada yang cukup besar, bahkan lebih besar dari kota-kota di Eropa pada masa itu (Wheatly, 1983).

Terdapat dua pola utama urbanisme di Asia Tenggara di jaman pra kolonialisme:

1. Kota dagang

Umumnya terletak di daerah pesisir. Kota dagang paling makmur dan sentral posisinya dalam jaringan perdagangan internasional adalah Malaka.

2. Kota suci

Umumnya terletak di pedalaman, merupakan tempat kedudukan para raja, misalnya kota Angor.

Kedua macam kota ini saling berinteraksi dimana kota dagang mensuplai barang-barang impor untuk konsumsi para elite, sedangkan kota suci memasok beras dan barang-barang lain untuk konsumsi kota dagang.

Pada jaman kolonialisme, urbanisasi sangat dipengaruhi oleh tujuan kedatangan negara-negara asing ke Asia Tenggara serta metode perdagangan dan politik diterapkan negara-negara Eropa tersebut di daerah kolonialisme masing-masing. Perkembangan urbanisasi jaman kemerdekaan sangat dipengaruhi oleh semangat nasionalisme, sedangkan pada tahun 1960an pola urbanisasi berubah kembali dilandasi dengan ideologi pembangunan dan modernisasi.

Di masa kini, perkembangan urbanisasi di Asia Tenggara rancu dan cenderung ruwet untuk dianalisa. Salah satunya adalah kare di Asia Tenggara sulit untuk menunjuk suatu gerakan yang benar-benar gerakan sosial kota, gerakan yang berbasis pada permasalahan kota, sebab antara gerakan yang bertujuan untuk mencapai perubahan politik secara umum dan gerakan kota sulit sekali dibedakan.

Dalam membahas urbanisasi penulis memasukkan unsur-unsur yang berpengaruh didalamnya, baik ekonomi, sosial, politik, sejarah, budaya dan bahkan agama. Daerah-daerah yang dibahas merepresentasikan kawasan Asia Tenggara walau tidak seluruh daerah dibahas secara detail.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar